Marga Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau
marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat Simalungun yang berasal
dari daerah Kabupaten Simalungun. Ada 4 marga asli dari Simalungun: Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga.
Keempat marga tersebut berasal dari marga raja-raja di Simalungun yang
bermufakat untuk tidak saling menyerang. Beberapa marga dari luar Simalungun
kemudian menganggap dirinya sebagai bagian dari 4 marga tersebut ketika mereka
menetap di Simalungun. Sebagai suku yang menganut Paterilinear, marga pada suku
Simalungun diturunkan melalui garis Ayah, oleh karena itu orang yang memiliki
marga yang sama dianggap sebagai kakak-adik sehingga tidak diperbolehkan untuk
saling menikah.
Asal-Usul
Sejarah
asal-usul dari marga-marga yang ada di dalam suku Simalungun sangatlah minim,
namun beberapa sumber tertulis menyatakan bahwa ada 4 marga asli dalam Suku
Simalungun yang biasa diberi akronim SISADAPUR. Beberapa sumber juga
menyatakan bahwa 4 marga tersebut berasal dari “Harungguan Bolon”
(permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan
tidak saling bermusuhan (dalam bahasa
simalungun yaitu: marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang
munssuh).
Keempat raja itu adalah
Raja Nagur bermarga Damanik
Damanik
berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti
Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat,
paling cerdas).
Raja ini
berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad
ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari
India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau
Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau
(yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar,
Tuan Raja Sidamanik dan Tuan Raja Bandar)
Soro Tilu
(yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur,
Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola)
Timo Raya
(yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok)
Selain itu
datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja,
Limbong, Manik Rajayang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di
Simalungun.
Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam
bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun,
tata, sehinggasimada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau
pemegang undang-undang.
Keturunannya
adalah:
Saragih
Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya.
Saragih
Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Saragih
Garingging kemudian pecah menjadi 2, yaitu:
Dasalak,
menjadi raja di Padang Badagei
Dajawak,
merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
Walaupun
jelas terlihat bahwa hanya ada 2 keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan
Rondahaimterdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari
Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe,
Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk.
Ada satu lagi
marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini
berasal dari daerah Samosir.
Rumah Bolon Raja Purba
di Pematang Purba, Simalungun.
Raja Banua Purba bermarga Purba
Purba menurut
bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat
masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan,
cendekiawan/sarjana.
Keturunannya
adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian
ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya.
Pada abad
ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian
menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini
kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga
berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab
Gempa dan Tanah Longsor.
Keturunannya
adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan.
Saat kerajaan
Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi
yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku
bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut
Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa
dengan margaSinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang
marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah
(Sibijaon).Tideman, 1922
Beberapa
Sumber mengatakan bahwa Sinaga keturunan raja Tanoh Djawa berasal dari India,
salah satunya adalah menrurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang
Hatara.
Beberapa
keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan daerah
Nagaland (Tanah Naga) di India Timur yang berbatasan dengan Myanmar yang memang
memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan, postur wajah dan anatomi tubuh
serta bahasa dengan suku Simalungun dan Batak lainnya.
Marga-marga
perbauran
Perbauran
suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi,
Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru. Sebagian besar dari marga-marga
ini merupakan marga yang telah ada di daerah/suku lain. Marga-marga tersebut
yaitu:
Saragih :
Munthe, Siadari, Sidabutar, Sidabalok,
Sidauruk, Simarmata, Simanihuruk, Sijabat.
Purba :
Manorsa, Simamora, Sigulang Batu,
Parhorbo, Sitorus, Pantomhobon, Sigumonrong, Pak-pak, manalu.
Damanik :
Malau, Limbong, Sagala, Gurning,
Manikraja, Tambak.
Sinaga :
Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu.
Sebagian
marga di atas dikategorikan ke dalam salah satu marga Simalungun karena
hubungan persaudaraan, perjanjian atau kerjasama antara kedua marga. Selain itu
ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang
merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga,
Manurung, Butar-butar dan Sirait.
Marga Mengikuti Raja
Zaman
raja-raja Simalungun, orang yang tidak jelas garis keturunannya dari raja-raja
disebut “jolma tuhe-tuhe” atau “silawar” (pendatang). Fenomena sosial
ini diakibatkan adanya hukum marga yang keras di Simalungun menyatukan dirinya
dengan marga raja-raja agar mendapat hak hidup di Simalungun.
Demikianlah
sehingga makin bertambah banyak marga di Simalungun. Tetapi meski demikian
sejak dahulu hanya ada empat marga pokok di Simalungun yakni Sisadapur :
Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.
Setelah
raja-raja dikuasai Belanda sejak ditandatanganinya Korte Verklaring (Perjanjian
Pendek) tahun 1907dan dihapuskannya kerajaan/feodalisme dalam aksi Revolusi
Sosial tanggal 3 Maret 1946 sampai April 1947, peraturan tentang marga itu
menghilang dengan sendirinya di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke
marga aslinya dan ke sukunya semula.
Penambahan
Marga
Pada tahun
1930, Pdt. J. Wismar Saragih pernah
menuliskan surat permohonan pada kumpulan Raja-Raja Simalungun yang berkumpul
di Pematang Siantar yang meminta agar Raja-Raja tersebut menetapkan marga-marga
baru sebagai tambahan kepada marga resmi Simalungun dengan maksud agar semakin
banyak marga Simalungun seperti pada suku lain. Walaupun ide tersebut diterima
oleh Raja-Raja tersebut namun permohonan J. Wismar Saragih belum disetujui
karena belum tepat waktunya.
Karena alasan
tersebut di atas, sebagian orang berpandangan bahwa masih ada kemungkinan
bertambahnya Marga-marga di Simalungun. Hal ini senada dengan apa yang pernah
dituliskan mengenai asal-usul beberapa Marga. Semisal Marga Saragih Garingging,
yang disebut beberapa sumber berasal dari keturunan Pinangsori, dari Ajinembah
(sebuah daerah di Kabupaten Karo) dan bermigrasi ke Raya sehingga bertemu
dengan Raja Nagur dan dijadikan marga Saragih Garingging. Begitupun marga Purba
Tambak, disebutkan berasal dari penduduk daerah Pagaruyung yang bermigrasi ke daerah
Natal, kemudian ke Singkel, hingga tiba di daerah Tambak, Simalungun.
Keturunannya kemudian menikah dengan keturunan Raja Nagur dan mereka dijadikan
sebagai bagian dari Purba, yaitu Purba Tambak. Marga Damanik juga disebut
sebagai pendatang yang menikah dengan keturunan Tuan Silampuyang yang bermarga
Saragih dan kemudian diberi marga.
Adat
Sebagai suku
yang bersifat Paterilinear, Suku Simalungun menurunkan marganya melalui garis
keturunan Pria, dengan demikian marga seorang ayah akan diteruskan ke putera/puterinya.
Oleh karena itu 2 orang yang memiliki marga yang sama akan saling menganggap
diri mereka sebagai saudara seketurunan sehingga dipantangkan (tidak
diperbolehkan) untuk saling menikah.
Bagi Wanita,
marga disebutkan sesudah kata boru (biasa disingkat br.), sehingga jika ada
seorang wanita bernama Sofia yang lahir dari ayah bermarga Saragih, maka akan
dipanggil sebagai Sofia boru Saragih. Saat seorang wanita Simalungun menikah
dengan lelaki dari marga lain, biasanya ia akan menggunakan marga suaminya
tersebut pada namanya. Sehingga jika Sofia boru Saragih menikah dengan marga
Purba, maka ia akan dipanggil sebagai Sofia Purba boru Saragih.
Perkebunan Teh Sidamanik Kabupaten Simalungun
Source :
Wikipedia
0 comments:
Post a Comment