Jafar, pengemudi asal Lombok yang mengantar jemput dari bandara Praya, Lombok, ke Pelabuhan Bangsal, berkali-kali menepikan mobilnya, membiarkan kami menyerap sesaat pemandangan permai yang terbentang di muka. Jajaran pohon nyiur berbaris rapi mengikuti lengkungan garis pantai, melatari laut biru dengan pasir putihnya.
Perjalanan selama dua jam menuju pelabuhan nyaris tak terasa. Deretan perahu bermotor rapi terparkir di dermaga, dekat jembatan penyeberangan yang dibangun seadanya. Ketiga pulau, Gili Meno, Gili Trawangan, dan Gili Air, terasa dekat dari jangkauan. Namun, butuh waktu 15-20 menit untuk mencapainya, itu pun dengan kapal cepat yang berkecepatan penuh. Laut yang mulai pasang pada sore itu membuat kapal meliuk-liuk menghindari terjangan ombak.
Ah, wajah Gili Trawangan terus berubah. Wisatawan asing dengan kulit terbakar matahari ada di mana-mana. Mereka menjejali pinggiran kolam renang, meja-meja kafe yang menghadap ke laut lepas, dan tentu saja jalanan utama pulau yang sempit dan berpasir. Ada yang memanggul tabung selam, papan selancar, ataupun ramai bersepeda.
Kepadatan wisman sudah hampir menyerupai Kuta, Bali. Namun, ada yang ”terselamatkan” di sini. Tak ada bunyi kendaraan bermotor. Yang ada bunyi ketipak kaki kuda, menarik cidomo, semacam delman. Meskipun kadang bau kotoran tercium, para kusir patuh untuk membuat tampungan di keretanya sehingga jalanan relatif aman dari ”ranjau”.
Yang juga membedakan, di sini tak perlu harap-harap cemas menanti kehadiran dan kepergian matahari. Bola merah raksasa itu datang dan pergi tepat waktu, bersih dari kabut dan saputan awan. Dan beginilah cara para ”komunitas pulau” melepas senja. Beramai-ramai berjalan kaki atau bersepeda ke arah barat (hanya sekitar 15 menit), lalu duduk di tepi pantai, atau memenuhi meja-meja restoranyang bersisian dengan pasir pantai. Ada juga yang menggotong meja dan kursi sendiri. Selama setengah jam berikutnya, semua mata terpusat ke arah garis pantai yang warnanya berubah perlahan.
Pesona itu dimulai dengan matahari yang bulat sempurna berwarna merah menyala. Pancarannya membuat permukaan laut luntur kemerahan dan langit diselimuti rona jingga. Bola raksasa itu perlahan turun, membuat siluet kehitaman kapal-kapal yang melintasinya. Sampai kemudian hilang ditelan garis pantai. Warna laut berubah menjadi hitam kebiruan. Namun, secara perlahan permukaannya menjadi keperakan kembali. Menengadahlah ke langit, bulan bulat penuh telah hadir. Juli adalah masa purnama. Kilau cahaya bulan pun menjadi pemandu jalanan setapak yang tak berpenerangan.
Di berbagai sentra keramaian, malam adalah perayaan dengan musik, dansa, dan kuliner laut. Ikan-ikan segar kemerahan yang baru ditangkap dari laut bergelimpangan di atas tumpukan es. Udang-udang gemuk yang permukaannya bening ditumpuk di dekat kelompok kepiting yang masih menggerak-gerakkan capitnya. Tak perlu banyak bumbu untuk membakar ikan dan udang. Kesegarannya sudah memberikan rasa manis dan gurih alami.
Alunan musik sayup terdengar dari setiap sudut pulau. Terbawa angin laut yang berembus lembut. Malam terasa panjang.
Ritual mengejar matahari berulang di pagi hari. Kali ini ke arah timur. Warga pulau sudah membuka mata ketika subuh masih membayang. Kapal-kapal nelayan membuang sauh di tengah laut, menjaring ikan untuk dijual ke pulau.
Bagi wisatawan dari negeri empat musim, terik matahari tak ubahnya magnet. Ketika penduduk lokal berjalan melipir di antara keteduhan bayang-bayang pohon, sosok-sosok berkulit pucat itu justru berjejal di area yang paling banyak diterpa panas.
Pantai dan laut menjadi pusat aktivitas sepanjang pagi dan siang.
Bersepeda mengelilingi pulau juga tak kalah menantang. Waktu yang paling nyaman untuk mengeksplorasi pulau seluas 338 hektar itu adalah menjelang sore hari, dimulai dari ujung timur dan beristirahat di ujung barat sambil menanti matahari tenggelam.
Beranda belakang pulau ini juga menyimpan pesonanya. Hotel-hotel mungil yang menghadap ke laut lepas tumbuh di sana-sini. Demikian juga vila-vila pribadi dengan taman hijaunya, dan tentu saja kafe dan restoran. Jarak dari satu bangunan ke bangunan lain masih dipisahkan lanskap alam. Menyisakan ketenangan dan ”rasa” alami.
Meski demikian, hampir separuh jalan setapak berpasir tebal. Apa boleh buat, sepeda pun terpaksa dituntun. Berhentilah sejenak untuk menikmati keindahan di sekeliling dengan lebih kusuk, lepas dari ingar- bingar kerumunan. Di sini debur ombak yang pecah membentur karang terdengar lebih garang. Juga cericit kawanan burung yang terbang melintas menyisakan siulan panjang.
Sejumlah anak pulau bergerombol di bibir pantai mencari kerang. Satu per satu perolehan dimasukkan ke kantong plastik. Langkah mereka lincah meniti pasir pantai yang berbatu dan menghilang di balik bukit.
Seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata di pulau ini—ketika resor, hotel, dan restoran berebut menjejali lahan pinggir pantai—permukiman penduduk semakin tergusur ke arah bukit. Pertumbuhan tak selalu berjalan paralel dengan kesejahteraan warga lokal. Kaum yang tercecer ini kemudian menjadi ”tamu” di tanah kelahirannya.
Malam itu, kami bertemu dengan Siti, gadis cilik berusia 13 tahun yang terkantuk-kantuk menjaga toko kelontong sendirian. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Tidak seperti anak sebayanya yang mungkin sudah terlelap seusai mengerjakan PR, Siti masih harus bekerja.
”Setiap hari saya bekerja dari jam 09.00 sampai jam 12 malam (pukul 24.00). Setelah itu, saya membersihkan toko, baru pulang. Besok pagi ke sini lagi,” kata Siti yang bekerja dari Senin sampai Minggu, tanpa libur, dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
Siti sedang semangat-semangatnya menjadi murid SMP ketika dipaksa orangtuanya untuk berhenti sekolah dan bekerja, membantu ekonomi keluarga. ”Saya sih pinginnya sekolah, tetapi tidak boleh, mesti kerja,” katanya.
Ya, wajah Trawangan terus berubah. Terus berubah….
0 comments:
Post a Comment