English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Doughlas Purba

Menyiapkan penerus generasi hijau di kota dengan lahan hijau yang semakin menghilang

Written By Unknown on Thursday 28 March 2013 | 16:15:00

Ditulis oleh: Elis Nurhayati


Saya ibu dari seorang putri yang berusia hampir 7 tahun. Saya menganggap diri saya ‘hijau’, karena saya bekerja untuk sebuah organisasi konservasi nirlaba. Saya senang mengetahui bahwa putri saya ingin mengikuti jejak saya sebagai penjaga alam. Dia baru-baru ini berubah pikiran dari yang ingin menjadi pelukis ulung menjadi pecinta alam yang penuh semangat. Menyelamatkan orangutan, lumba-lumba dan komodo adalah aspirasi utama nya – setidaknya untuk saat ini sebelum dia berubah pikiran lagi.
Sayangnya, jenis kegiatan yang lebih sering aku tawarkan ke anak saya pada akhir pekan adalah pergi ke pusat-pusat  perbelanjaan..
Saya tidak bangga dengan ini. Saya telah membaca beberapa penelitian yang menjelaskan hubungan antara perkembangan kognitif dan aktivitas luar. Penelitian tersebut mengatakan bahwa dekat dengan alam terbukti bermanfaat bagi fungsi kognitif, pengurangan gejala Attention Deficit Disorder (ADD) serta meningkatkan disiplin diri dan kedewasaan emosional pada semua tahap perkembangan.
Saya yakin, semakin penduduk kota terisolasi dari pemandangan alam, semakin berkurang pemahaman orang-orang tentang bagaimana kehidupan mereka terkait erat dengan kesehatan alam.
Anda bisa menganggap bahwa menyalahkan pemerintah DKI Jakarta adalah alasan yang lemah , tetapi mereka memang terkenal karena kejahatannya dengan tidak menyediakan daerah hijau yang cukup sebagai taman kota dan malah membangun banyak mall. Berbeda dengan taman publik yang ramai dikunjungi di kota-kota yang lebih maju di seluruh dunia seperti Taman Ueno di Tokyo, Taman Lumphini di Bangkok, Flagstaff Gardens di Melbourne dan Taman Beihai di Beijing, banyak taman publik Jakarta justru diabaikan dan tidak dilengkapi fasilitas menarik.
Ambillah contoh Lincoln Park di Chicago. Sebuah taman kota percontohan yang membentang seluas 1.200 hektar di perbatasan Danau Michigan, Lincoln, memiliki begitu banyak ruang hijau bagi pengunjung. Dengan kebun binatang, taman yang indah, sebuah museum alam dan banyak fasilitas olahraga – dari lapangan golf dan lapangan bisbol hingga lapangan tenis, basket dan voli – Lincoln Park menjadi bagian tak tergantikan bagi kehidupan kota.
Keberadaan taman kota tersebut tidak hanya untuk kebutuhan rekreasi penduduk semata, tetapi sebagai daya tarik wisatawan juga. Orang bisa menghabiskan waktu seharian penuh di sana dan tidak bosan. Taman itu berfungsi sebagai obat dari kehidupan perkotaan yang cepat dan luar biasa sibuk.
Kembali ke Jakarta, mal-mal besar perlahan-lahan mulai mengambil alih fungsi taman kota Jakarta, berfungsi sebagai ruang publik. Hal ini sebenenarnya tidak mengherankan karena mal memiliki begitu banyak hal menarik yang memanjakan semua indra manusia. Orang dapat melihat dan dilihat, bertukar gosip, menikmati anggur, makan, belanja sampai puas dengan berbagai macam pilihan. Mal-mal ini menerapkan konsep one-stop shopping. Konsep inilah yang ada dalam pikiran semua pengembang dan yang menjadi pembenaran untuk membangun mall lagi.
Namun, sebagai pengunjung mall-karena terpaksa, saya merindukan taman di mana saya bisa beristirahat dan bersantai, piknik, menerbangkan layang-layang dengan putri saya atau ikut serta dalam kegiatan lainnya. Jika ada lebih banyak taman yang nyaman dan aman seperti Taman Suropati dan Menteng, saya pasti akan lebih memilih taman daripada mall. Lagipula, tidak ada yang mengalahkan rumput hijau dan udara segar.
Saya yakin penduduk kota lainnya juga memiliki mimpi sederhana ini. Anak-anak kita perlu taman, dan menjadi tanggung jawab kita untuk memperkenalkan mereka dengan alam. Jika tidak, anak saya suatu hari nanti akan merubah mimpinya dengan ingin menjadi seorang pengembang mall yang serakah akan lahan.
Tulisan ini berasal dari harian The Jakarta Post

0 comments:

Post a Comment